
Pejabat publik dan politisi makin getol memanfaatkan jejaring sosial walaupun kadang melakukan blunder. Namun pengamat menilai semua pejabat seharusnya memiliki akun jejaring sosial.
Menkominfo Tifatul Sembiring adalah pejabat dan politisi yang terhitung rajin mengupdate Twitternya. Namun Tifatul tak urung juga pernah membuat blunder dengan aktivitasnya itu. Ia dinilai tak kidmat mengikuti upacara 17 Agustus, karena di waktu yang sama dia melakukan update di Twitter.
Pengamat Kebijakan Publik Andrinof A Chaniago menilai jejaring sosial sangat dibutuhkan pada saat ini. Bahkan setiap politisi harusnya memiliki akun di jejaring sosial.
“Kalau politisi yang cuma ingin menjaga citra mungkin tidak butuh dan mereka biasanya tidak sungguh-sungguh dalam bekerja. Tapi kalau yang sungguh-sungguh bekerja sebagai wakil rakyat, justru jejaring sosial adalah modal bagi mereka yang harus dimanfaatkan,” katanya di Jakarta, kemarin.
Ia menilai politisi yang banyak menggunakan jejaring sosial itu sebagai hal biasa dalam ilmu politik modern. Bahkan dinilai Andrinov malah menguntungkan masyarakat. Hal itu karena jejaring sosial bebas dari kendala personal sehingga masyarakat bisa lepas dalam menyampaikan kebutuhannya.
Bahkan Andrinov menilai pejabat publik yang berani menggunakan jejaring sosial memiliki nilai plus. Terutama pejabat yang ingin memahami realitas di masyarakat. “Perlu kita hormati daripada mereka yang hanya pasang gaya di tempat-tempat tertentu,” katanya.
“Itulah gunanya mereka mempunyai perangkat PC (personal computer), BB (BlackBerry) dan comunicator lain yang seharusnya memang digunakan dan dimanfaatkan untuk mengoptimalkan hal itu,” timpalnya.
Namun begitu Andrinov mengakui efektifitas komunikasi lewat jejaring sosial itu belum maksimal. Namun hal itu karena masih tahap awal dan populasinya masih kecil di kalangan masyarakat politik. Jamua saja, sulit berharap jejaring sosial untuk mengangkat politisi seperti terjadi di luar negeri.
“Belum lah, tingkat melek internet kita juga belum terlalu besar. Dari mereka yang melek internet juga perlu dilihat berapa besar dari mereka yang concern terhadap politik. Tapi sebenarnya jumlahnya sudah cukup signifikan. Kalau dari total pemilih masih kecil, yang jelas berpengaruh membawa faktor baru,” kata Andrinov.
Andrinov melihat perlunya politisi dan pejabat publik membuat akun jejaring sosial. “Saat ini memang masih terbatas manfaatnya dibanding media TV, tapi jelas penting buat politisi dan masyarakat,” imbuhnya.
Ia menjelaskan di jejaring sosial itu politisi makin didorong agar lebih accountable dan masyarakat bisa melihat konsistensinya. Politisi yang masuk ke jejaring sosial harus siap berdialog, mendengar dan konsekuen dengan yang diinginkan masyarakat. “Beda dengan mereka yang mengurung diri dan mengambil tempat-tempat eksklusif,” katanya.
Sementara Pakar Komunikasi UI Awang Ruswandi menilai untuk kalangan terpelajar media sosial sangat bermanfaat. “Efektif atau enggaknya sebenarnya kembali lagi ke orangnya, mau digunakan untuk apa. Justru bagus, dengan adanya ini jadi lebih tersegmentasi dan kalangan lain menggunakan media lain juga,” kaatnya.
Namun ia menyarankan Facebook tidak hanya digunakan untuk say hallo saja. Tetapi bisa dimanfaatkan betul untuk kampanye dan menyerap aspirasi.
“Misalnya saja kasus Prita Mulyasari, betul-betul akun itu digunakan untuk aspirasi. Diharapkan politisi bisa menggunakan hal seperti itu, sehingga orang bisa menyalurkan aspirasinya dan tidak sekadar terpampang begitu saja namun mendapatkan follow up dari politisi. Kalau itu dilakukan saya yakin akan banyak followernya nantinya,” katanya.
Ia menambahkan kalau sekadar untuk gagah-gagahan mungkin orang akan malas. Apalagi kebanyakan orang melek internet itu biasanya rasional dan berpendidikan sehingga sekali dikecewakan akan ditinggal oleh orang.(inilah.com)
Pengamat Kebijakan Publik Andrinof A Chaniago menilai jejaring sosial sangat dibutuhkan pada saat ini. Bahkan setiap politisi harusnya memiliki akun di jejaring sosial.
“Kalau politisi yang cuma ingin menjaga citra mungkin tidak butuh dan mereka biasanya tidak sungguh-sungguh dalam bekerja. Tapi kalau yang sungguh-sungguh bekerja sebagai wakil rakyat, justru jejaring sosial adalah modal bagi mereka yang harus dimanfaatkan,” katanya di Jakarta, kemarin.
Ia menilai politisi yang banyak menggunakan jejaring sosial itu sebagai hal biasa dalam ilmu politik modern. Bahkan dinilai Andrinov malah menguntungkan masyarakat. Hal itu karena jejaring sosial bebas dari kendala personal sehingga masyarakat bisa lepas dalam menyampaikan kebutuhannya.
Bahkan Andrinov menilai pejabat publik yang berani menggunakan jejaring sosial memiliki nilai plus. Terutama pejabat yang ingin memahami realitas di masyarakat. “Perlu kita hormati daripada mereka yang hanya pasang gaya di tempat-tempat tertentu,” katanya.
“Itulah gunanya mereka mempunyai perangkat PC (personal computer), BB (BlackBerry) dan comunicator lain yang seharusnya memang digunakan dan dimanfaatkan untuk mengoptimalkan hal itu,” timpalnya.
Namun begitu Andrinov mengakui efektifitas komunikasi lewat jejaring sosial itu belum maksimal. Namun hal itu karena masih tahap awal dan populasinya masih kecil di kalangan masyarakat politik. Jamua saja, sulit berharap jejaring sosial untuk mengangkat politisi seperti terjadi di luar negeri.
“Belum lah, tingkat melek internet kita juga belum terlalu besar. Dari mereka yang melek internet juga perlu dilihat berapa besar dari mereka yang concern terhadap politik. Tapi sebenarnya jumlahnya sudah cukup signifikan. Kalau dari total pemilih masih kecil, yang jelas berpengaruh membawa faktor baru,” kata Andrinov.
Andrinov melihat perlunya politisi dan pejabat publik membuat akun jejaring sosial. “Saat ini memang masih terbatas manfaatnya dibanding media TV, tapi jelas penting buat politisi dan masyarakat,” imbuhnya.
Ia menjelaskan di jejaring sosial itu politisi makin didorong agar lebih accountable dan masyarakat bisa melihat konsistensinya. Politisi yang masuk ke jejaring sosial harus siap berdialog, mendengar dan konsekuen dengan yang diinginkan masyarakat. “Beda dengan mereka yang mengurung diri dan mengambil tempat-tempat eksklusif,” katanya.
Sementara Pakar Komunikasi UI Awang Ruswandi menilai untuk kalangan terpelajar media sosial sangat bermanfaat. “Efektif atau enggaknya sebenarnya kembali lagi ke orangnya, mau digunakan untuk apa. Justru bagus, dengan adanya ini jadi lebih tersegmentasi dan kalangan lain menggunakan media lain juga,” kaatnya.
Namun ia menyarankan Facebook tidak hanya digunakan untuk say hallo saja. Tetapi bisa dimanfaatkan betul untuk kampanye dan menyerap aspirasi.
“Misalnya saja kasus Prita Mulyasari, betul-betul akun itu digunakan untuk aspirasi. Diharapkan politisi bisa menggunakan hal seperti itu, sehingga orang bisa menyalurkan aspirasinya dan tidak sekadar terpampang begitu saja namun mendapatkan follow up dari politisi. Kalau itu dilakukan saya yakin akan banyak followernya nantinya,” katanya.
Ia menambahkan kalau sekadar untuk gagah-gagahan mungkin orang akan malas. Apalagi kebanyakan orang melek internet itu biasanya rasional dan berpendidikan sehingga sekali dikecewakan akan ditinggal oleh orang.(inilah.com)